Banyak dijumpai bahkan kata ini sangat akrab digaungkan didalam lingkungan akademisi, kata tersebut adalah ilmu. Kata " ilmu" merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yang berarti "science". Kata science berasal dari bahasa Latin scientia, kata tersebut mempunyai arti "pengetahuan". Kata scientia berasal dari bentuk kata kerja yaitu scire yang mempunyai arti " mempelajari", "mengetahui" (Soeprapto, 1996:102)


Surabaya-Kendala aspek nonfisik dari trotoar adalah mental dari masyarakat, yang mempunyai habit yang buruk dalam berjalan kaki maupun penyalahgunaan trotoar. Oleh karena itu penting bagi Pemkot untuk memperbaiki sarana dan prasarana, memberikan kampanye positif dan sosialisasi serta pelaksanaan peraturan sesuai dengan Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ, Pasal 25 ayat (1) huruf h UU LLAJ dan Pasal 28 ayat (2) UU LLAJ  dalam menggunakan trotoar harus terus di lakukan, sehingga masyarakat gemar dan tertib dalam menggunakan trotoar. Mengembalikan trotoar sebagaimana mestinya dan sesuai fungsinya, sama dengan halnya mengembalikan hak dan melindungi pejalan kaki.

Kendala aspek nonfisik dapat dipengaruhi oleh oprasional angkutan umum yang buruk, dimana angkot dapat berhenti sekehendak hati, juga transportasi masal yang tidak terintegrasi satu dengan yang lain dan tidak adanya parkir komunal untuk kendaraan pribadi yang beralih ke kendaraan umum, sehingga menimbulkan kekacauan dalam transportasi serta dampaknya, yang nantinya berimbas kepada pejalan kaki. Masyarakat juga menginginkan adanya transportasi yang nyaman, aman dan tertib sehingga fungsi transportasi dan trotoar benar-benar terintegrasi, hal itu mungkin dapat dilakukan dengan baik apabila Pemkot memfasilitasi moda transportasi yang dikelola suatu badan hukum. Namun yang kerap terjadi dilapangan dan kota-kota Indonesia adalah masalah kepemilikan angkot, angkot kepemilikannya biasanya lebih ke pribadi, inilah yang menjadi sebab mengapa transportasi khususnya angkot jauh dari transportasi yang nyaman, aman dan tertib sehingga berimbas kepada pejalan kaki. Padahal UU No. 22 tahun 2009, angkutan umum itu harus dikelola suatu badan hukum. Oleh karena itu butuh tindakkan tegas Pemkot dalam mengatur masalah ini sehingga habit yang buruk dalam masyarakat dalam aspek non fisik dapat diminimalisir.

Akibat dari semrawutnya sistem dan ketidaknyamanan menggunakan transportasi angkutan umum, maka permasalahan yang timbul adalah meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, volume kendaraan, seperti motor dan mobil dijalan, sehingga sudah dapat ditebak kemacetan tidak dapat dihindari. Disamping itu tidak adanya parkir komunal dan sistem transportasi yang tidak terintegrasi, menyumbang banyak permasalahan keadaan yang terjadi di jalan raya, dan muaranya adalah hak pejalan kakipun dirampas karena dampak macet membuat motor menggunakan media trotoar sebagai jalan pintas, pejalan kaki tidak lagi mentaati aturan-aturan yang ada dalam menggunakan trotoar karena dampak dari sistem transportasi yang salah dan masih banyak lagi.

Aspek nonfisik lain adalah Pemkot harus benar-benar ketat dalam menerapkan peraturan, khususnya bagi PKL (Pedagang Kaki Lima), Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) dan Parkir liar. Dihampir seluruh kota-kota di Indonesia tidak bisa mengelak akan permasalahan ini. Bahkan hal tersebut terjadi tidak hanya dalam hitungan bulan, namun menahun bahkan puluhan tahun, hingga bangunan semi permanen sampai bangunan permanen, lahan parkir yang liar hingga lahan " parkir berlangganan". Juga masalah keberadaan Gepeng yang "terkadang" membuat was-was pejalan kaki. Pemkot bekerjasama dengan Polisi maupun Satpol PP untuk menuntaskan permasalahan ini, sehingga ketertiban dalam menggunakan trotoar dapat diwujudkan.
Mewujudkan trotoar yang ideal bukan tidak mungkin terjadi, semuanya itu dapat terwujud apabila Pemkot tegas menerapkan Peraturan yang telah ada dan membenahi sarana dan prasarana  baik trotoar dan moda transportasi masal dengan baik.

Surabaya-Dalam aspek Fisik masalah yang serius kerap ditemui trotoar di kota-kota Indonesia adalah pemeliharaan trotoar, sehingga trotoar bukan menjadi jalan yang aman dilalui oleh pejalan kaki, namun justru menjadi ancaman bagi pejalan kaki itu sendiri. Pemeliharaan inilah yang kerap disepelekan dan dilalaikan oleh Pemkot maupun Pemda, trotoar dibiarkan digali untuk keperluan listrik mapuan selokkan, namun tidak dikondisikan kembali seperti semula. Terlebih memprihatinkan adalah banyak ditemui adalah trotoar tekadang dibiarkan rusak dan menganga dalam jangka waktu yang lama, bisa hitungan bulan bahkan tahunan, hal tersebut sangat mengacam keselamatan para pejalan kaki khususnya para kaum difabel.

Perlindungan terhadap hak pejalan kaki menemui kendala dan jauh dari rasa aman di Indonesia, tidak hanya dari pihak Pemkot, namun juga datang dari BUMN dan bisa juga dari Perusahaan Swasta atau pihak berkepentingan lainnya, yang tidak menjaga trotoar dan menyalahgunakan trotoar demi kepentingan golongan, oleh karena itu perlu adanya perlindungan hukum kepada pejalan kaki agar terlindungi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Surabaya- Aspek fisik merupakan hal yang terpenting, oleh karena itu standarisasi nasional dalam pembuatan trotoar di Indonesia harus menjadi tolak ukur yang tidak bisa ditawar lagi dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga hak pejalan kaki benar-benar terperhatikan, tidak hanya itu penerapanpun harus benar-benar dilakukan oleh Pemkot atau Pemda setempat di seluruh kota maupun wilayah penjuru Indonesia, adapun formulasi standar yang penulis maksud dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Luas dan lebar trotoar
  2. Konstruksi trotoar
  3. Tipikal trotoar
  4. Dimensi trotoar
  5. Penempatan trotoar
Apabila aspek fisik benar-benar diaplikasikan secara ketat baik oleh Pemkot maupun Pemda dalam pelaksanaan di lapangan, maka masyarakat benar-benar merasakan kenyamanan dalam berjalan kaki. Disisi lain konstruksi yang kokoh akan trotoar, akan menghemat anggaran biaya pemeliharaan Pemkot.