Banyak
faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari
beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi Biologis, psikologis,
sosial, lingkungan (environmental). Tidak seperti pada penyakit jasmaniah,
sebab-sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi
penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri.
Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan mengobatinya. Umumnya
sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas :
a.
Sebab-sebab jasmaniah atau biologik
b.
Sebab-sebab kejiwaan atau psikologik
c.
Sebab-sebab yang berdasarkan kebudayaan.
Untuk
mengetahui mana penyebab yang asli dan mana yang bukan perlu diketahui dua
istilah, yaitu : sebab yang memberikan predisposisi
adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi rentan atau peka terhadap
suatu gangguan jiwa (genetik, fisik atau latar belakang keluarga atau sosial).
Sebab yang menimbulkan atau pencetus langsung adalah faktor traumatis langsung menyebabkan gangguan
jiwa (kehilangan harta pekerjaan atau kematian, cendera berat, perceraian dan
lain-lain. Masa remaja dikenal sebagai masa gawat dalam perkembangan
kepribadian, sebagai masa “badai dan stres”. Dalam masa ini individu dihadapi
dengan pertumbuhan yang cepat, perubahan-perubahan badaniah dan pematangan
sexual. Pada waktu yang sama status sosialnya juga mengalami perubahan, bila
dahulu ia sangat tergantung kepada orangtuanya atau orang lain, sekarang ia
harus belajar berdiri sendiri dan bertanggung jawab yang membawa dengan
sendirinya masalah pernikahan, pekerjaan dan status sosial umum. Kebebasan yang
lebih besar membawa tanggung jawab yang lebih besar pula. Perubahan-perubahan
ini mengakibatkan bawha ia harus mengubah konsep tentang diri sendiri. Tidak
jarang terjadi “krisis identitas” (Erikson, 1950). Ia harus memantapkan dirinya
sebagai seorang individu yang berkepribadian lepas dari keluarganya, ia harus
menyelesaikan masalah pendidikan, pernikahan dan kehidupan dalam masyarakat.
Bila ia tidak dibekali dengan pegangan hidup yang kuat, maka ia akan mengalami
“difusi identitas”, yaitu ia bingung tentang “apakah sebenarnya ia ini” dan
“untuk apakah hidup ini”. Sindroma ini disebut juga “anomi”, remaja itu merasa
terombang ambing, terapung-apung dalam hidup tanpa tujuan tertentu. Banyak remaja
sebenarnya tidak membernontak, akan tetapi hanya sekedar sedang mencari arti dirinya
sendiri serta pegangan hidup yang berarti bagi mereka. Hal “badai dan stres”
bagi kaum remaja ini sebagian besar berakar pada struktur sosial suatu
masyarakat. Ada masyarakat yang membantu para remaja ini dengan
adat-istiadatnya sehingga masa remaja dilalui tanpa gangguan emosional yang
berarti. Kebanyakan kebutuhan kita hanya dapat diperoleh melalui hubungan
dengan orang-orang lain. Jadi cara kita berhubungan dengan orang lain sangat
mempengaruhi kepuasan hidup kita. Kegagalan untuk mengadakan hubungan antar
manusia yang baik mungkin berasal dari dan mengakibatkan juga kekurang
partisipasi dalam kelompok dan kekurangan identifikasi dengan kelompok dan
konformitas (persesuaian) yang berlebihan dengan norma-norma kelompok (seperti dalam
“gang” atau perkumpulan-perkumpulan rahasia para remaja). Secara garis besar
dapat dikatakan bahwa kemampuan utama dalam hidup dan dalam menyesuaikan diri
memerlukan “penerapan” tentang beberapa masalah utama dalam hidup, seperti pernikahan,
ke-orangtua-an, pekerjaan dan hari tua. Di samping kemampuan umum ini dalam bidang
badaniah, emosional, sosial dan intelektual, kita memerlukan persiapan bagi
masalah[1]
Menurut
American Psychiatric Association (1994), gangguan mental adalah gejala atau
pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada
seseorang dari berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan)
atau ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi
penting) yang meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau
kehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima
pada kondisi tertentu. Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang bersumber
dari berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan
tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan
seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada
juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan
pada otak (Djamaludin, 2001). Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang
sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim
(2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak dapat dimainkan tuntutan id
(dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan tuntutan super ego
(tuntutan normal social). Orang ingin berbuat sesuatu yang dapat memberikan
kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan masyarakat.
Konflik yang tidak terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan masyarakat
ini akhirnya akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa. Terjadinya gangguan
jiwa dikarenakan orang tidak memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka.
Beberapa contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan
untuk afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain
dalam kelompok. Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh
orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan
untuk sukses mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler
yang mengungkapkan bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari
perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-sebab
timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam
hidup. Kegagalan yang terus-menerus
ini akan menyebabkan kecemasan dan ketegangan emosi. Dari
berbagai pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan jiwa seperti yang
dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh karena
ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya
kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan
rendah diri. (Djamaludin dan Kartini, 2001).[2]
Pribadi
yang termasuk jomblo psikis adalah jomblo diakibatkan sikap obsessive, traumatik terhadap sesuatu
dan seterusnya, jomblo psikis bisa juga dapat terbentuk karena faktor tumbuh
dari keluarga yang kurang harmonis.
Jomblo psikis dapat juga memuat tipe jomblo lain yaitu jomblo main-main. Jomblo
main-main adalah seorang yang mengaku diri jomblo namun untuk mengisi
hari-harinya, ia membangun hubungan tanpa status dengan lawan jenis satu atau
lebih, atau bisa juga membangun hubungan lawan jenis kepada seorang yang sama
atau berbeda-beda. Faktor jomblo main-main dapat juga disebabkan oleh gangguan
psikis karena trauma atau disebabkan pengaruh pergaulan yang buruk atau trauma
terhadap hubungannya dengan orang lain dimasa lampau. Rata-rata jomblo tipe
seperti ini tidak mempunyai komitmen atau ikatan batin atau perasaan cinta yang
kuat terhadap lawan jenis, semua hubungan yang ia jalin kepada orang lain
adalah main-main atau tidak serius, namun memungkinkan terjalinya hubungan “main-main”
tersebut tidak jarang menuai dampak sangat serius.
0 komentar:
Posting Komentar