Jomblo Psikis:
seorang yang tidak tidak punya kekasih (belum mempunyai pengalaman asmara
dengan orang lain sama sekali) disebabkan oleh gangguan kejiwaan karena faktor
tertentu. Sedangkan pengertian psikis sendiri adalah jiwa. Fisik dan psikis
merupakan satu kesatuan yang seharusnya diselaraskan disetiap fungsinya.[1]
Penyakit mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan
jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit
mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir,
perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Penyakit mental ini
menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). Penyakit
mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun
status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan
pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan
diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Pengertian
seseorang tentang penyakit gangguan jiwa berasal dari apa yang diyakini sebagai
faktor penyebabnya yang berhubungan dengan biopsikososial (Stuart &
Sundeen, 1998). Salah satu upaya penting dalam penyembuhan dan pencegahan
kekambuhan kembali adalah dengan adanya dukungan keluarga yang baik. Keluarga
merupakan sumber bantuan terpenting bagi anggota keluarga yang sakit, keluarga
sebagai sebuah lingkungan yang penting dari pasien, yang kemudian menjadi
sumber dukungan sosial yang penting. Menurut Friedman (1998) dukungan sosial
dapat melemahkan dampak stress dan secara langsung memperkokoh kesehatan jiwa
individual dan keluarga, dukungan sosial merupakan strategi koping penting
untuk dimiliki keluarga saat mengalami stress. Sedang strategi Coping sendiri berasal dari kata “Cope“ yang berarti lawan, mengatasi
menurut Sarafino (dalam Smet 1994). Dukungan sosial keluarga juga dapat
berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stress dan konsekwensi
negatifnya. Penderita gangguan jiwa sering mendapat stigma dan diskriminasi
yang lebih besar dari masyarakat di sekitarnya bahkan dalam beberapa kasus oleh
keluarganya sendiri. Mereka sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi
seperti perlakuan keras. Perlakuan ini disebabkan ketidaktahuan atau pengertian
yang salah dari keluarga atau anggota masyarakat. Hal inilah yang biasanya
menyebabkan penderita gangguan jiwa untuk sulit sembuh dan sering kambuh
kembali (Stuart dan Laraia, 2001).[2]
Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa negara menunjukkan
bahwa hari-hari produktif 'yang hilang atau Dissability
Adjusted Life Years (DALY's) sebesar 8,1% dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa.
Angka ini lebih tinggi dari pada dampak yang disebabkan penyakit
Tuberculosis(7,2%), Kanker(5,8%), Penyakit Jantung (4,4%) maupun Malaria
(2,6%). Tingginya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar dibandingkan
dengan masalah kesehatan lainnya yang ada dimasyarakat.[3]
Gangguan jiwa atau mental illness adalah
kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang
lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap
dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa adalah gangguan dalam
cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan
(psychomotor) (Yosep, 2007). Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah
suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi
jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial. Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive[4] terhadap
stressor dari lingkungan dalam atau luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan,
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan
mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.
[4]
Perilaku mal-adaptif adalah
perbuatan dari individu yang tidak mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi
dengan keadaan sekeliling secara wajar. Misalnya yang bersangkutan
memperlihatkan ketakutan, kecurigaan (paraoid), gangguan menilai realitas,
gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Perilaku maladaptif ini sering
meninbulkan konflik, pertengkaran, tindak kekerasan dan perilaku antisosial
lainnya terhadap orang-orang di sekelilingnya (Dadang Aswari;2007 dalam Wawasan
Digitalmedia 3 Oktober 2007).
0 komentar:
Posting Komentar